Minggu, 30 Mei 2010

Permen yang Gratis [3]

"Guntingnya pasti besar dan kuat."
Aku membuka lemari. Memang benar, senar piano serta penggulungnya ada disitu.
Segera kugunakan sarung tangan bersegel spesialku, lalu kuambil senar piano itu.
"Aku harus cepat.....!!" Baru saja bilang begitu, aku tersandung seperti halnya Rii.
"Huwa!"
BRUK.
Sarung tangan bersegel itu mengenai meja. Dampaknya? Spesial juga. Meja jadi penyet seperti ditindih bola beton.
"Siapa sih, yang naro paku di sini....!!!!!!!?" Aku memungut paku yang tertancap di lantai dengan mudah jika memakai sarung tangan bersegel istimewa itu.
Aku memakai sepatu-transformasiku, lalu berlari secepat kilat. Aku hanya membutuhkan 25% waktu yang kubutuhkan jika dengan sepatu biasa.

"Hoi, lama sekali?" tanya Dio.
"Polisi sudah datang," kata Via.
"Ini," aku menjawab singkat sambil menyodorkan paku dan senar piano.
"Senar piano?!" Via kaget.
"Kau langsung tahu ya, Vi," aku memuji Via. Yang dipuji malah senyum - senyum sendiri.
"Nah, kali ini, biar aku yang cerita!" tukas Anisa.
"Oke, oke," kata Pak Rahman tersenyum *polisi lho*

Pelaku memasang paku di depan dapur. Kemudian mengaitkan senar piano di dua lemari dan paku. Lemari yang satu berada di bawah dan lemari lain berada di atas. Tetapi, sinar yang dikaitkan di lemari bawah tidak diikat kuat. Pada ujung senar yang lain, telah digantung sebuah pemukul.

"Apakah itu permen?!" tanya Dio. Dia berharap analisanya benar. Sayang, Anisa menggeleng.
"Kemungkinan terbuat dari dry ice. Sehingga dalam waktu sekejap bukti tentang pemukul bisa dihilangkan."
"Itu berarti dia dari stand es krim??" tanya Alfia.
"Tidak harus," jawab Anisa. "Semua orang juga bisa melakukannya. Ini trik yang *terlalu* sederhana sih."
"Ooh..........." para 'cake maker' manggut - manggut.
"Tapi, ada satu hal yang belum kuketahui!" kata Anisa. "Tidak ada penyekat ruangan antar stand kan'? Seharusnya tindakan kriminal *jiah, kritikus* seperti itu dapat dilihat banyak orang! Apalagi kejadiannya saat siang sebelum waktu makan siang!"
"Mungkin dia memakai es batu?" kata Emil.
"Tidak. Jejaknya hilang tiba - tiba. Es batu akan meleleh. Dry ice akan menguap dalam beberapa jam," jawab Anisa.
"Kalau disamarkan bagaimana?" tanyaku.
"Kalau disamarkan, bisa memakai dry ice, es batu, atau apapun, iya kan'," sambung Dio.
"Misalnya dry ice yang diberi krim softcake!" kata Bela bersemangat.
Dio: "Oi..................."
Alfia: "Tapi krimnya..!"
ウサギ: "Krimnya akan meninggalkan jejak kalau begitu!"
Anisa: "Hah?"
Emil: "Iya betul! Coba saja sendiri kalau nggak percaya."
Anisa: "Memang begitu?"
*tanpa jelas siapa pembicaranya....*
"Aku akan mencari tahu jejak krim itu!"
"Jangan!"
"Kenapa?"
"Soalnya, aku yakin cake itu takkan ditemukan!"
"Darimana kamu tahu??!"
"Ah, ituu....."
"Berarti pelakunya adalah Dorothy dong!! Dia kan' pandai membuat hiasan."
"Iya ya."
"Bukan dia. Kalian salah menunjuk dia."
"Pelakunya Aryo? Eh, bisa juga ya."
"Tapi, aku tak pernah dendam sedikitpun pada Rii!!!"
"Hubunganku dengan Kak Aryo seperti kakak dan adik."
"Ya."
"Tapi, ウサギ, bukankah tersangkanya ada diantara kedua orang itu?"
"Bisa ya, bisa tidak. Semua orang boleh melakukannya."
"Oi, Ingrid, kapan kamu mau belajar di luar kota sebagai pakar-penyiksa-mental?"
"Hehehe. Kalau sempat."
"Hei! Kok aku nggak tau siapa yang ngomong ya?!"
"Au' ah, gelap! Males mau nulis pembicaranya."
"Grrrrrrrr.........r!"
"Berarti pelakunya, tak ada disini?"
"Tidak mungkin!"
"Ufufufufufu. Sang pelaku pasti tenang kan', karena tak ada yang menuduhnya? Akan kubuat serius juga dia."
DEGG......!
"Aku bisa dengar detak jantungnya lhoooo......." *nari*
"Ups, lupa, foto kejadian ini dulu ah, buat dipost di Mim, Facebook sama Tumblr ah...."
TOINK!!!!!!
"Dasar GEEK!"
"Awa, sori."
"Pelakunya adalah Peach, karena saat waktu makan siang hanya dia yang berada di dapur milik Rii." Akhirnya aku memberitahu siapa pelakunya. *Puyeng debat terus*
"!?"

Akhirnya Lala-Peach ditangkap karena berniat membunuh koki kesayangan Bu Direktur. Sebagai imbalan, kami boleh datang ke rumah permen kapan pun, dan, gratis!!

ウサギ: "Kurasa aku cuma mau makan cemplon doang."
Anisa: "Aku mau coklat!"
Alfia: "Roti melon keknya sudah cukup..."
Via: "Kalau aku, sandwich!"
Bela: "Semuaaanya!"
Emil: "Aku suka woodchoconya. Ada efek mint."
Dio: "Mbo, cuma nganter saja...."





Oi! Ceritanya mengambil unsur unsur dalam anime Case Closed... :3
NB: Sebutan Cloud yang diberikan ウサギ kepada Emil berguna sebagai nama sandi.

Bagikan

Permen yang Gratis [2]

"Serpihan permen?" tanyaku di taman. Dia menelponku.
"Ya! Kurasa, alat yang digunakan untuk memukul tengkuk Rii adalah batang permen...!" kata Dio dari jauh. Tapi, suaranya terdengar dekat. Suaranya menyusup ke telinga dengan lembut........ *cobaen wes Nis!*
"Coba kamu cari pelakunya. Aku sedang mencari sinyal LAN gratis...."
"Kamu iniiii......!!!!!!!!!! Doyan banget sama gratisan sih!!!!!!!!!!" bentak Dio.
"Cih," aku menekan tombol tutup *merah* dengan sebal. Aku sempat merasakan ada hawa orang yang kena *berpenyakit* priyadingistis *seperti http://priyadi.net *
Namun kuacuhkan.

Aku masuk ke UKP (Unit Kesehatan Permen) *memang ada? Dodol mode on* dan melihat Rii terbaring lemah.

Kami berencana untuk menunggui Armon sampai dia sadar. Tapi sekarang jam sudah menunjukkan pukul 22:00. Yang lain sudah tertidur. Aku akan melakukan cheat supaya bisa mengetahui pelakunya. Aku membuka fan page Jigoku Tsushin *by ウサギ* yang hanya bisa diakses jam 12 malam dengan zona waktu Jepang. *tapi aku nggak tahu konfigurasi biar bisa dibuka pada waktu tertentu*
"Aku akan menemukan jawaban dari neraka!"
Sang asisten, Ririn, muncul dan memperlihatkan potongan video kejadian yang menimpa Rii.

Benda gelap yang seperti bayangan itu memukul tengkuk Rii dengan benda berwarna hijau.

Ini....
Permen!! Jadi, analisa Dio itu benar!!!! Hebat!
ウサギ"Ini hanya kronologinya saja. Bisa jadi prosedurnya berbeda jauh," kata Ririn mengingatkan.
"Kurasa itulah yang sebenarnya penting!" kataku pada Ririn.
"Ya! Mungkin kita bisa mencari permen yang serupa mulai sekarang!" kata Ririn ikut senang. Aku jadi cemberut.
"Oi, aku juga mau tidur."
"Ups."

Pagi harinya, aku mengajak semuanya untuk melihat rekaman CCTV. Kami nggak mandi. *jorok*
"Aku yakin, dengan cara ini, kita pasti bisa menemukan pelakunya!" kata Emil sambil mengutak - atik komputer CCTV.
"Uhm," Bela berdehem.
"Apa?" tanya Emil. Terganggu.
"Maaf. Aku sedikit batuk," jawab Bela.
Emil meneruskan pekerjaannya. Akhirnya file - file penting itu ketemu. Tapi, tak ada satupun yang menyorot kejadian itu.
"Karena saat itu siang, maka jika listrik dipadamkan takkan ada yang menyadari. Namun, mesin pengocok saus milik Dorothy sempat mati. Dia kira mesinnya rusak," kataku mengemukakan pendapat. Yup, hal itu memang terjadi ketika aku dan Peach membeli softcake.
"Tapi, pelakunya tidak tahu, kalau hanya mematikan komputer sudah cukup," kata Anisa.
"Tidak. Hanya petugas CCTV yang boleh masuk ke dalam. Jika diizinkanpun tak ada gunanya. Kita butuh personal card yang mengidentifikasikan bahwa kita petugas CCTV. Pengamanan yang berlapis - lapis," jelas Alfia. Dorothy melongo.
"Kalian ini siapa....?"
"Ingrid 'ウサギ' Irianty, Alfia Nadia Putri, Anisa Rahmah, Alfiandy 'Dio' Hariansyah, Emiliano 'Cloud' Ihza, Traviata dan Nabilah Agrininda," jawabku dengan suara rendah.
"Tapi, kita tak tahu motif apa dibalik kejadian ini," kata Via.
"Iya, lebih baik panggil polisi," saran Bela.
"Tidak! Tidak seru kalau memanggil polisi! Analisa kita takkan didengarkan dengan mudah! Waktu study tour saja
(baca chapter 1/part 3) sebenarnya aku harus memaksa polisi wilayah tersebut baru diterima!" aku mulai protes. *heghe*
"Berarti pelakunya adalah pembuat permen," kata Aryo menyindir.
"Hauh?" Dorothy berhenti makan softcake. "Kau menuduhku?"
"Ya, enggak sih, tapi, cuma kamu yang sering berada di dekatnya kan?" kata Aryo memanas - manasi. Kejam.
"Ini hanya kronologinya saja. Bisa jadi prosedurnya berbeda jauh."
"Bagaimana jika kejahatan dilakukan tanpa berada di tempat kejadian?!" teriak Emil. Bercanda nih?!
"Hah?" semua orang menoleh ke arah Emil.
"Maaf, maaf," kata Emil menunduk.
"Bisa saja tuh," kata Bela.
"Mungkin tanpa sengaja Rii mengaktifkan sesuatu, sehingga sistem yang dibuat pelaku dapat bekerja," aku mulai serius lagi.
"Ya........ Ya..!!" seru seseorang. Rii.
"Rii?!" semua orang berharap tahu pelakunya.
"Tapi, aku tak tahu caranya," kata Rii lemas.
"Yaah...." yang lain ikutan lemas.
"Kurasa, ketika akan mengantar cake es krim, aku jatuh karena kaki kananku tersandung kaki kiriku. Ternyata kaki kiriku tersangkut kabel..!" kata Rii menjelaskan kronologinya.
"Kamu akan menjelaskan bahwa itu kebetulan?" tanya Anisa. Rii menggeleng.
"Aku akan memeriksa TKP! Lagi pula, aku juga sudah meminta agar mereka datang siang saja," aku berlari menuju TKP sambil berkata begitu. Tak lupa menyambar sebuah cake es krim rasa vanilla. Semua terbengong - bengong.

Aku sudah sampai di tempat robohnya Rii. Butuh waktu 5 menit karena harus memutari stand - stand manisan yang bikin ngiler. Ada stand cemplon dan konnyaku (puding) juga.

Aku memeriksa dapur. Waktu yang ditentukan telah tiba. Polisi sudah datang. Aku mencari - cari sesuatu yang mengaitkan kabel. Tapi, jangankan pengaitnya, kabelpun tak ada yang berserakan.
Apakah saat itu dia sedang kecapean ya? Terus, dia berpikiran bahwa benda itu adalah kabel......... SENAR PIANO!!!!!
"Iya ya, senar piano adalah jenis benang *tali?* yang kuat! Berarti kalau senar piano itu..." aku meneliti tiap sudut dengan teliti. Kalau senar piano pastinya *wajib* disimpan di tempat yang tidak ada kaitannya dengan manisan, iya kan'. Atau disembunyikan?
Aku melihat - lihat ke dapur. Ada potongan plastik. Aku tertawa.

Bagikan

Permen yang Gratis [1]

Hari ini sepulang sekolah, aku, Usagi / ウサギ (Ingrid), dan Alfia akan ke rumah Anisa. Kami bertiga akan mengunjungi rumah permen. Nah, kebetulan rumah permen itu dibuat di tanah kosong yang dekat dengan rumah Anisa. *pemanfaatan*

Kami sudah tiba di rumah permen. Semuanya nampak enak.
"Wuaaaa...! Nggak sabar mau makan semuanya..!" kata Anisa senang.
"Kamu mau makan rumah ini juga?" sindir Alfia.
"Yah, kalau boleh." Apa boleh buat, kejadian setahun lalu membuat Anisa tidak peka terhadap sindiran.
"Kita ke stand coklat yuk! Di sana ada beberapa anak 5A," kataku mengalihkan perhatian.
"Masa'?" tanya Alfia tidak yakin.
"Seperti yang terlihat," aku menunjuk stand coklat. Ada Via, Bela (A), Dio dan Emil sedang memilih coklat.
"Be, benar," Alfia kaget. Kemudian, kami menghampiri mereka berempat.
"Kebetulan, kami juga mau makan coklat!" kataku dengan lantang. Biar kedengeran. *kalau kecil kan nggak mungkin...*
"Hei! Kalian bertiga lagi," kata Dio, menampakkan wajah senang, detik berikutnya cemberut.
"Ketua kenapa?" tanyaku penasaran. "Terlalu hebat, bukan hanya soal IPA, tapi juga soal mengubah raut wajah."
Dio menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bela dan Via senyum - senyum.
"Kok, nggak ramah sih?" tanya Via pada Dio. *niat menggoda*
"Wee, terserah aku dong..!"
"Sudah nemu coklat?" tanya Anisa.
"Nggak bisa milih coklat........." Kami kaget. Ternyata suara itu berasal dari Emil. "Mas Dio, tolong ambilkan coklat yang berbentuk batang kayu dong..." *muka melas*
"Kamu nggak kenapa - kenapa?" tanyaku pelan. "Hah?!" Dio kaget. "Memang kenapa?!"
"Nggak sih, tapi aku khawatir kalau ketua jadi depresi atau malah frustasi gara - gara ketua sekelas sama adiknya."
"Nah, aku juga mau woodchoco, jadi aku akan mengambil dua," kataku berjunjit mengambil woodchoco. Bukan masalah tinggi buatku, tapi masalahnya woodchoco diletakkan di belakang. Akhirnya berhasil dan aku memberikan satu woodchoco pada Emil.
"Makasih, Ingrid," kata Emil takjub.
"Payah."
Saat yang lain melihat - lihat coklat, aku berjalan menuju stand softcake.

Ah, softcake. Coklat. Ah, softcake. Strawberry. Ah, softcake. Raspberry. Ah, softcake. Daging sapi karamel.
"Daging sapi karamel...!!?" aku menghentikan langkah dan melangkah menuju tempat softcake daging sapi karamel.
"I, itu buatanku..." Aku menoleh ke arah asal suara. Ada cewek yang cantik. Kelihatannya pemalu. Disampingnya ada cowok. Cakep. Lemayan.
"Kakak siapa?" "Dorothy. Arihyoshi Dorothy. Ini temanku, Roy 'Cheffon Master' a.k.a Aryo."
"Arihyoshi Dorothy? Itu kan' yang tertulis di papan."
"Ya. Tetapi dia lebih suka dipanggil Dorothy," kata seorang cowok yang sebaya denganku. Lho, kok, wajahnya nggak asing lagi?!
"Ka, ka, kamuuuu!!!? Kamu kan, Rii!" *namanya bukan itu sih..... Sensor aja*
"Ketahuan ya?" tanya Rii kaget.
"Jelas. Aku hapal wajahmu. Walau kita nggak sekelas, bahkan satu sekolah."
"Kamu sendirian?"
"Nggak. Sama teman - teman. Hei!? Aku mau membeli softcake daging sapi karamel kok nggak jadi terus ya? Ngobrol sih."
"Ini," kata Rii sambil memberikan bungkusan berwarna hitam. "Jangan curiga. Ini softcakenya."
"Ouoo. Thanks. Sama softcake strawberrynya juga?"
"Ok."
"Bayar nggak?" *quote @chapter1: simpel, saya kelinci pemalas dan suka yang gratisan...*
"Nggak usah!"
"Thanks!" kataku sambil berlari.

Aku masih berlari. Aku mau memberikan softcake strawberry pada ketua dan sekretaris. Mereka kan' suka strawberry............
BRUKK!! Ugh! Aku menabrak orang. softcake jadi jatuh. Kelihatannya softcake masih berada di dalam kresek, tapi aku sudah tidak tahu bentuknya seperti apa....
"Maaf ya," kata seorang cewek yang kelihatannya sebaya dengan Dorothy. Dia tinggi dan langsing. Pake kacamata.
"Ti, tidak apa - apa... Hah?" kakak itu membuka kedua kresek milikku. "kakak?!"
"Ya ampun, maaf, softcakemu jadi rusak.... Apa perlu kuganti?"
"Tidak usah..."
"Ayolah, biar kakak yang traktir," kata kakak itu menawari. "Gratis ya...?" Gratis, gratis, gratis, rasanya pernah dengar... GRATIS!?
"Asyiik..!!"
Kakak itu hanya tersenyum melihatku jungkir balik *iiiiih*.
"Namaku Peach."
"Ooo, Peach..! Kalau namaku ウサギ!"

Aku mendapatkan kembali softcake - softcake itu dan bertemu dengan Rii setelah beberapa tahun berlalu. Aku pernah suka sama Rii, tapi sekarang tidak. *hehehehe, hwahaha*
"Ingriiiiiiiiid!!!!! Kamu dari mana sih?" tanya Bela mengeluh.
"Anu, beli softcake buat ketua dan Anisa."
"Buat kita mana?" tanya Alfia senang. *ngarep softcake*
"Aku kan nggak tahu kesukaan kalian!"
"Yaaaaaaaaaaahhh............" serempak githu!
"Waaaaa!!"
Perasaan ini..........!!
Aku segera berlari menuju asal suara.
Tergeletak sebuah cake.
Disamping cake itu, Rii telah roboh. Serpihan permen bertebaran. Aku memegang tangannya. Hangat.
"Rii hanya pingsan."

Dio dan Emil memapah Rii yang kepalanya berdarah.
Serpihan permen? Ada di bahu? Apa permennya diletakkan di bahu? Dio curiga.
"Emil, ayo cepat sedikit!" "Ya mas!"

Bagikan

Kamis, 27 Mei 2010

Boneka - Boneka yang Menghilang [3]

Misato Nnoi sedang berjalan lewat lorong bersama pelaku. Sebelumnya, pelaku telah mencuri boneka - boneka kami dari kamar Hana. Kemudian, boneka itu salah satunya disobek, kemudian pisau dimasukkan ke dalam boneka. Saat berjalan bersama Misato, korban berpura - pura membetulkan tali sepatunya. Ketika lengah, sang pelaku menyabet leher korban dengan pisau. Gagang pisau memang sudah disiapkan untuk diambil, maka otomatis jika ditarik ke atas terlebih dahulu, kain pembungkusnya akan sobek walau sedikit. Tetapi jika ditarik keluar, maka resiko sobekannya akan berkurang. Setelah berhasil membunuh korban, maka pelaku menyimpan boneka yang sedikit sobek. Karena kain pembungkusnya berbulu, sobekan takkan terlihat jika tak diteliti. Berarti boneka itu adalah boneka milik Hana, yang berwujud kucing. Untuk membuat alibi, sebuah boneka kucing yang sama dengan milik Hana, berdampingan dengan bonekaku dan boneka Bela yang asli diletakkan di dekat resepsionis, walau mereka tak menyadarinya. Dan boneka yang asli berada di tangan salah satu dari ketiga orang ini, karena tak mau dilibatkan dalam kasus ini. Toh, nyatanya sang pencuri boneka telah menampakkan dirinya. *nggak nyambung*

"Jadi sejak awal, kamu sudah tahu pelakunya?!" tanya Ilma dan Icha.
"Ya."
"Kenapa tidak bilang? Kamu ini..!" keluh Rio sambil menatap tajam padaku.
"Ya, kalian nggak nanya sih."
"Sudah! Jadi, siapa pelakunya?" tanya Alda tak sabar.
"Aku yakin spekulasinya bukan begitu," kata Nina.
"Terus gimana, Nin?" tanya Bu Rahmi. *Miss Rahmi will be back!*
"Pokoknya bukan begitu!"
"Pelakunya adalah orang dari NHK  TV. Karena mungkin dendam pribadi," jawabku.
"Mizuiro atau Tomoya, ya....?" goda Alfia dalam bahasa jepang. Kami tertawa, sedangkan yang lain tidak *nggak tahu artinya sih..!* Aku memperhatikan sekeliling. Tangan Tomoya sedikit......
"Tomoya, kau terluka?" tanyaku.
"Hah? Ng, nggak kok..!" Tomoya gelagapan.
"Di tangan Tomoya ada kapas. Apa itu tidak aneh?" kata Alfia membenarkan ucapanku.
"Aku habis makan permen kapas ko...."
"Nggak kok...!!!!" kata Mizuiro lantang.
"Kapas itu, memiliki warna coklat. Itu bulu boneka Hana."
"Ya, aku membencinya, karena dia menyukai Mizuiro..!!" teriak Tomoya.
Kok, jadi begini?

Satoka, membenci Nnoi. Alasannya, Nnoi dan Mizuiro saling suka, lalu jadian. Sebelumnya, Satoka akrab dengan mereka berdua. *sepele*

Aku, Hana, dan Bela berhasil mendapatkan boneka - boneka kami.
"Besok, kita akan pulang..! Huwaaaaa...!!!!" Aku, Alfia, Dimas, Dede(k), Fathan, dan beberapa yang lain menangis tersedu - sedu.
Kenapa? Soalnya, kami belum ketemu sama pengarang idola kami...!! Huwaaaa....!!! *sepele*
"Itu sih, masalah sepele..." kata Hana.
Apa ini akhir yang bahagia? Kurasa bukan!







Kenapa aku membuat cerita tentang 4A? Soalnya, ada Bu Marsi, ada Ade Faiz, ada yang laen juga...... Tapi, gurunya konfigurasi kelas 5, kelas 4, kelas 3, kelas 2, kelas 1, kelas 6, mantan guru............. :D

Bagikan

Boneka - Boneka yang Menghilang [2]

Saat tengah malam, Emil pergi ke toilet. Setelah itu, dia membuka pintu kamar untuk... Yah, iseng saja. Alangkah terkejutnya dia, melihat mayat teronggok dengan darah di lehernya. Detik berikutnya, teriakan histeris terlontar dari mulutnya. Semua terbangun.

Ternyata dia Nnoi. Aku memeriksa tangannya. Masih lemas. Selain itu, darahnya juga masih segar. Sepertinya belum lama dibunuh.
"Nnoi..."
"Kamu, kamu tahu sesuatu?" tanya Bu Marsi.
"Aku nggak yakin."
"Ini tugasmu, sebagai detektif di kelas 4A. Sebaiknya kamu juga berhasil menjawab teka - teki ini," kata Rio ketus.
"Memangnya hal itu mudah?!" bentakku.
"Wuooooi..! Jangan ber-ke-la-hi!" lerai Dhila.
"Tuh, denger yang dibilang Dhila!" kata Bu Marsi.
Aku melihat ke arah lain. Ada kapas terkena darah yang jatuh.
"Jangan - jangan..........." Aku membuka pintu kamar tempat Hana, Lintang dan Alda. Bonekaku dan boneka Bela (Destiny Chaldiest, wakakakaka) ada di sana. Kami bertiga terkejut, karena sebenarnya ketiga boneka itu telah menghilang.
"Padahal sudah kukunci tadi!" kata Hana merasa bersalah.
"Kamu jangan gitu Han! Kita cari bersama - sama saja, yuk," kataku menenangkan. Aku juga mau mencari pembunuh itu.
"Pak Tris, tolong telponkan polisi dan ambulans.." Ah, ternyata Pak Tris sudah menelpon duluan. Ya sudah.
"Kami pergi dulu ya..!"

Kami menemukan kapas. Lagi. Tapi, kali ini warnanya putih, nggak ada darah.
"Ada lagi," kata Hana sambil memungut kapas tersebut.
"Tapi, tidak mungkin membunuh dengan kapas. Apa ada ya, kapas ajaib?" kata Biellz Dztny Chaldiest. Aku dan Hana tertawa.
"Imajinasimu berlebihan," kataku sambil tertawa, lalu diam serius.
"Ayo ke resepsionis."
"Kita mau checkout?" tanya Bela.
"Nggak. Cuma nanya."

Di meja resepsionis, kami menanyakan orang orang yang checkout dari pukul 9 sampai pukul 2.
"Ada tiga orang dik. Yang pertama Tomoya Satoka. Lalu Kawane Chini dan Mizuiro Akai," jawab sang resepsionis dalam bahasa jepang.
"Hah.?! Dia ngomong apa sih Grid? Ada sebutan Tomoya Satoka, Kawane Chini, dan Mizuiro Akai. Itu juga istilah?! Haduh.... Bingung...." kata Bela dengan mata berputar - putar.
"Yang kamu sebutkan tadi orang - orang yang checkout..! Bagus, Bel!" seruku.
"Kebetulan, mereka mungkin sedang menunggu shinkansen yang datang, mereka sama - sama bertujuan ke Yamaguchi," kata mbak resepsionis.
"Ayo! Kita harus segera menuju stasiun shinkansen!"
"Kalian boleh memakai mobil dinasnya."
"Biar aku yang kemudikan..." Ooh, rupanya Pak Jo menawarkan diri. (Hah? Pak Jo? Yang bener? Hahaha) Kami mengangguk. Di samping beliau, ada Anisa, Refi dan Dio.
"Kalian juga ikut?" tanya Hana. Mereka mengangguk dalam - dalam.
"Nah, ayo kita berangkat!" kata Bela yang paling semangat.

"Lihat! Itu stasiun shinkansennya..." kata Dio sambil menunjuk sebuah stasiun.
"Dan itu Kawane Chini!" seruku.
"Ayo anak - anak semuanya turun," kata Pak Jo. Kami segera membuka pintu dan berlari ke TKP. *anak kaskus nih, sok TKP*

"Tante Kawane......! Tante...!" panggilku dalam bahasa jepang.
"Ooh, Riri! Sini, sini," ajak Tante Kawane. "Tante juga bersama Satoka lho."
"Ohayou minna san..!" kata Tomoya sambil berdiri, lalu membungkukkan badan, seperti Fathan tadi siang.
"Kayak Fathan saja," komentar Dio. Refi mengangguk setuju.
"Itu memang adatnya kan..." kataku meralat.
"Tante Kawane, Kak Tomoya, Kak Mizuiro, kalian diminta kembali ke hotel karena ada urusan mendadak."
"Memang ada apa?" tanya Mizuiro.
"Susah dijelaskan! Pokoknya ikut saja," jawab Pak Jo dengan terbata - bata.
"Baiklah." Ketiga orang itu memakai taksi untuk menuju hotel, sedangkan kami memakai mobil dinas yang dipinjam dari hotel. *gak bondo*

"Assalamualaikuum..!" Suara Dio terdengar jelas di dalam hotel.
"Jadi, kalian sudah kembali?" tanya Olivia.
"Yang seperti itu nggak usah dijelaskan," kata Anisa.
"Polisi juga sudah datang," kata Bu Husnul. "Sekarang mau apa?"
"Ups, seharusnya, kita memanggil polisi itu nanti saja," kataku sambil menahan tawa.
"Ini bukan bercanda Ingrid!" kata Novan.
"Oke, oke, aku akan menjelaskan, tapi aku butuh asisten yang bisa 'Bilingual', ada?" kataku setengah bertanya.
"Aku deh," kata Alfia. Sekarang kemampuan menulis kanji dan katana sudah cukup hebat, dalam beberapa detik sanggup menulis kanji yang rumit. Selain itu, dia juga bisa memahami dan berbicara dengan bahasa jepang.
"Alfia, kamu tulis dalam bahasa jepang ya," kataku.
"Siap, paham! Silakan mulai."
Lorong menjadi hening. Aku deg - degan juga menyampaikan kronologi dari kasus ini.

Bagikan

Boneka - Boneka yang Menghilang [1]

Suatu hari, aku, Usagi / ウサギ (Ingrid), si detektif, beserta teman - teman mantan kelas 4-1, study tour ke Hiroshima, Jepang (jauh banget) bersama bu Marsi (plus beberapa guru yang lain, wahahahaha). Kami benar - benar menikmati perjalanan hari ini. Mumpung gratis... (penjelasan: simpel, saya kelinci pemalas dan suka yang gratisan...)

Saat melihat - lihat pemandangan di Hiroshima, tiba - tiba Fathan kebelet. Dia menoleh - noleh kebingungan mencari toilet. Bu Marsi yang menyadari perasaan cemas (huek!) Fathan, dengan sigap menggandeng tangan si pinter matematika itu menuju toilet tanpa mengucap sepatah kata (lucuuuu....!! Tingkah yang keibuan..!).
"Si Fathan kenapa sih..?" tanya Refi kepada Hana.
"Coba saja kamu tanya, aku sih nggak tahu," jawab Hana sambil menaikkan bahunya.
"Tapi, ekspresinya aneh begitu. Pasti dia sedang panik," sahutku.
"Kamu ini, sempat - sempatnya meramal orang," timpal Lintang.
"Lihat saja ekspresinya, dia pasti kebelet," tebak Dzorif.
"Hei, teman - teman! Daripada mengkhawatirkan Fathan, lebih baik kita pergi ke tempat yang jadi korban bom atom..!" komando Anisa, sang ketua kelas. Semua mengangguk.
"Kurasa, Bu Marsi dan Fathan pasti bisa menyusul kita," kata Dio sebagai letnan menambahkan.
"Bagaimana kalau kita makan saja dulu? Di sana ada penjual bakso," saran Pak Nur sambil menunjuk sebuah kedai sushi.
"Pak...... Itu kedai sushi... Kan ada tulisannya?" kata Olivia setengah kesal.
"Ya.. Repot ya, kalau sudah di luar negeri, nggak bisa baca, apalagi ngomong *sama orang lokal*," kata Bu Iva disambut tawa anak - anak.
"Apa ya, tujuan tryout beberapa minggu yang lalu? Bikin penasaran!" seru Nina.
Fathan dan Bu Marsi yang ditunggu akhirnya datang juga.
"Maaf ya, jadi merepotkan semuanya," Fathan membungkuk dalam - dalam.
"Kayak orang jepang aja kamu, Fat!" kata Rio tertawa. Anak cowok lain tertawa juga. Kebanyakan nonton anime Naruto sih.
"Lho? Nggak ada Kishimoto Masashi ya?" tanya Dimas. Dia berharap bertemu dengan Kak Kishimoto dan minta digambarkan Uchiha Sasuke. (aku juga mau ketemu Toyama Ema nih!)
"Jangankan Kishimoto Masashi, Ninomiya Tomoko saja nggak ada!" kataku mengomentari. Dia lagi vakum setahun, kan'.
"Anak - anak, daripada kalian meributkan hal yang tak perlu, lebih baik kita makan bakso saja..!" kata Pak Nur menengahi.
"Apaan sih?" kata Alfia, namun tak dihiraukan teman - teman yang sudah berjalan mengikuti Pak Nur dan menuju kedai sushi.
Suasananya memang aneh.

"Waah, ini enak lho, teman - teman! Ayo, kita makan sushi *katanya* yang enak ini, mumpung ada yang nraktir! Kita mungkin nggak akan kesini untuk yang kedua kalinya," kata Faisal dengan mulut penuh daging sushi.
"Woi, Faisal.... Seharusnya kamu makan yang rapi dong, *kayak aku*," kata Refi. Mananya? Kayaknya sama - sama bermulut penuh sushi deh.
"Cara makan kalian menjijikkan," seru Via jijik.
"Yah, aku jadi nggak berminat," kata Tisa, ikut jijik.
"Kalau kalian jijik, ya nggak usah duduk di sebelah kami juga nggak pa - pa!" bentak Faisal sambil memukul meja. Untung mulutnya sudah bersih. Kalau nggak, uh... Jijik.
Faisal mendengus, lalu membawa mangkuknya menuju meja paling pojok.
"Hei, kalian membuatnya marah tuh," Widya mengelap mulutnya, lalu menyerahkan mangkuk kosong itu kepada penjual sushi. Benar - benar rapi, tidak seperti kedua anak cowok itu.
"Tuh, lihat Widya, makannya rapi, nggak kayak kalian berdua!" kata Winda dengan nada tinggi.
"Grid, kamu nggak makan?" tanya Disqi. Aku menggeleng.
"Aku mau jalan - jalan saja," jawabku tenang.
"Ikut, Grid..!" seru Hana dan Bela (C).
Haah....

Di Jepang, kami melihat pemandangan yang aneh - aneh. Ada banyak museum, toko es krim, bakery........ Di Jember nggak sebanyak itu kan (hahahahaha! *Ndeso*).
Ng? Di seberang jalan, ada toko boneka. Ada boneka beruang, kelinci, katak, bawang, monyet, kucing, dan lain - lain. Sepertinya mereka juga tertarik. Kemudian, Bela mengganggukkan kepalanya dengan lemah, sebagai isyarat agar segera berlari menuju toko boneka.

Di toko boneka, aku segera memilih boneka kelinci yang manis - manis itu. Soalnya, beruang kan lambang cinta, sedangkan kelinci adalah tanda sahabat. Mau kuberikan kepada Alfia. Akhirnya aku membeli boneka kelinci yang sedang, berwarna turquoise.
"Kalau aku sih, kayak gini," kata Hana sambil menunjukkan boneka kucing berbulu lembut dan berwarna coklat keemasan. Sedangkan boneka milik Bela wujudnya berupa beruang putih bersayap. Aku memanfaatkan kemampuan berbahasa jepangku untuk menolong kedua temanku.

Kami semua sekelas kembali ke penginapan. Hari telah malam, dan semua sudah selesai melaksanakan shalat Isya. Semaunya berkumpul di ruang makan untuk makan malam. Kami *dipaksa* menggunakan seragam hijau - putih SD Al - Furqan *supaya keliatan Al - Furqannya, hehehe*.
Setelah makan, aku berusaha berbaur dengan orang - orang yang berada di tempat itu. Salah satunya, Kawane Chini, yang bercerai karena suaminya hendak membunuhnya, entah karena apa. Ada juga Misato Nnoi, Kotobuki Tsumugi, dan Mizuiro Akai, para wartawan baru dari NHK TV. Ada beberapa arang yang lainnya juga.

Bagikan